Pramoedya & Warisan Randu: Menulis Perlawanan Lewat Budaya
Menulis perlawanan bukan hanya soal menyuarakan kritik keras, tapi juga tentang membangun kesadaran melalui simbol dan narasi budaya. Inilah yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang menjadikan kebudayaan sebagai medan perjuangan. Dalam banyak karyanya, pohon randu kerap muncul sebagai simbol yang kuat: tentang akar, tentang keteguhan, dan tentang bangsa. Beliau merupakan salah seorang yang melakukan perlawanan lewat budaya.
Pramoedya: Pena yang Tak Takut Membakar Diri
Nama Pramoedya lekat dengan semangat perlawanan. Lewat Tetralogi Buru dan karya lainnya, ia menggambarkan nasib bangsa yang terjajah, suara kaum kecil yang tertindas, dan semangat individu yang tak padam. Namun, menulis perlawanan dalam bingkai budaya membuat karyanya lebih dari sekadar protes politik. Ia menghidupkan kembali sejarah, bahasa, dan memori kolektif—membentuk kesadaran akan identitas Indonesia yang sejati.
Pohon Randu: Simbol Perjuangan yang Mengakar
Dalam beberapa cerpen dan esainya, pohon randu bukan sekadar latar atau detail. Ia hadir sebagai simbol—teguh berdiri di tengah badai, akarnya menyebar jauh, seratnya berguna bagi banyak hal. Randu menjadi metafora akan rakyat yang kokoh, sekaligus sarana menyampaikan pesan budaya tanpa harus menyuarakan amarah secara langsung.
Menggunakan budaya sebagai bingkai perlawanan, Pram mampu menembus sensor, menyentuh pembaca dari semua kalangan, dan menyisipkan pelajaran tanpa menggurui. Di sinilah kekuatan karya sastranya yang abadi.
Perlawanan Lewat Bahasa dan Identitas
Pramoedya juga menentang kolonialisme dengan merawat bahasa. Ia tidak latah memakai bahasa asing sebagai simbol kemajuan. Sebaliknya, ia memperkuat identitas dengan bahasa Indonesia yang indah, mengakar pada tradisi, namun tetap lugas. Baginya, menulis perlawanan dalam bingkai budaya adalah cara untuk menyelamatkan martabat bangsa.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Kutipan ini mencerminkan bahwa menulis bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk mengubah.
Dari Penjara ke Dunia
Meski ditahan tanpa proses pengadilan dan dilarang menerbitkan karya, Pram tak berhenti menulis. Dari Pulau Buru, ia justru melahirkan karya terbaiknya. Perjuangannya menjadi bukti bahwa budaya bisa menjadi benteng terakhir saat segalanya dirampas. Dan randu, pohon yang tak mudah tumbang, tetap berdiri di antara narasi itu.
Penutup
Menulis perlawanan dalam bingkai budaya, seperti yang dilakukan Pramoedya, adalah bentuk perjuangan yang tidak lekang oleh waktu. Simbol-simbol seperti pohon randu menjembatani antara alam, rakyat, dan harapan. Kini, giliran kita membaca, memahami, dan menjaga agar suara itu tak padam di antara zaman yang terus berubah.